Sejarah
Ki Ageng Mangir merupakan hal yang tak dapat terlupakan oleh sebagian
besar masyarakat di Kota Gede dan di Dusun Sebaran, Godean. Sebab,
keduanya memiliki keterkaitan mengenai kematian Ki Ageng Mangir. Kisah
kematian Ki Ageng Mangir disimbolkan dengan adanya beberapa situs
kebudayaan berupa makam.
Makam
tersebut sering menjadi tempat ziarah bagi para pengunjung. Mereka
berdo’a dan melakukan beberapa ritual, seperti berpuasa, berdo’a di
sekitar makam sehari semalam, lalu mengambil tanah pasir di sekitar
makam agar hajat yang diinginkan oleh pengunjung dapat terwujud.
2. SOSOK KI AGENG MANGIR
Ki
Ageng Mangir merupakan sosok yang kontroversial. Beliau disebut-sebut
sebagai pemberontak Kerajaan Mataram. Sebab, beliau tidak mau tunduk
terhadap Kerajaan tersebut.
Nama
Ki Ageng Mangir dalam sejarah, ternyata digunakan oleh empat orang.
Keempat orang tersebut memiliki keterkaitan dalam hal silsilah keluarga.
Dalam
penuturan lisan yang berkembang, ada empat orang dari generasi yang
berbeda yang menggunakan nama Ki Ageng Mangir, yaitu Ki Ageng Mangir I,
Ki Ageng Mangir II atau Wanabaya I, Ki Ageng Mangir III atau Wanabaya II
dan terakhir Ki Ageng Mangir IV atau Wanabaya III, seperti dituturkan
oleh Amiluhur Suroso, seseorang yang menyatakan dirinya adalah keturunan
Ki Ageng Mangir. Pendapat ini dibuktikan dengan adanya empat makam
untuk masing-masing Ki Ageng Mangir tersebut, yaitu : Ki Ageng Mangir I
dimakamkan di Alas Ketangga-Ngawi, yang ke II di Paliyan-Gunung Kidul,
yang ke III di Makam Sewu-Bantul dan yang ke IV di Sorolaten-Sleman.
Tetapi
ada sumber lain yang menegaskan hanya ada dua tokoh yang dikenal
sebagai orang yang bergelar Ki Ageng Mangir Wanabaya, yaitu Ki Ageng
Mangir Wanabaya I dan Ki Ageng Mangir Wanabaya II. Yang terakhir juga
disebut sebagai Ki Ageng Mangir Wanabaya muda. Pendapat kedua dijelaskan
oleh Pramudya Ananta Toer dalam bukunya Drama Mangir.
Sementara
ada pendapat ke tiga yang dilontarkan oleh Sugeng Pramono dalam bukunya
Ki Ageng Mangir, ada tiga Ki Ageng Mangir, yaitu Mangir I, II dan III.
Silsilah Mangir
Menurut
Babad Tanah Jawi, Ki Ageng Mangir I atau Raden Jaka Balud atau Ki Ageng
Megatsari adalah putra Prabu Brawijaya V atau (Prabu Kertabumi) yaitu
raja kerajaan Majapahit pada abad 14-15.
Ki
Ageng Mangir Wanabaya I menurunkan Ki Ageng Mangir Wanabaya II. Mangir I
juga mempunyai istri (selir), putri dari Demang Jalegong. Konon dari
rahim Rara Jalegong ini lahir seorang anak yang berupa ular/naga
(demikian disebut-sebut dalam babad dan cerita tutur). Anak yang kelak
terkenal dengan nama Ki Bagus Baruklinting ini mempunyai kesaktian yang
luar biasa pada lidahnya sehingga lidahnya dibuat menjadi sebilah mata
tombak oleh ayahnya sendiri dan diberi nama Kiai Baru.
Jadi,
Ki Bagus Baruklinting adalah saudara tiri dari Mangir II dan paman dari
Mangir IV. Mangir IV ini pula yang kelak hidupnya tidak pernah berpisah
dengan tombak Kiai Baruklinting.
Dari
tokoh-tokoh tersebut di atas, yang dianggap legendaris oleh masyarakat
Jawa adalah Ki Ageng Mangir IV atau Mangir muda (atau Raden Wonoboyo
III) karena kematiannya di tangan Panembahan Senopati yang juga
mertuanya sendiri.
Tidak
heranlah jika hingga kini tiga nama sejarah Jawa, yaitu Panembahan
Senopati, Ki Ageng Mangir dan Pembayun, sama-sama tak lekang ditelan
jaman. Seakan Mangir adalah lambang tokoh cinta kemerdekaan dan Senopati
adalah tokoh sejarah yang hendak menegakkan derajat bangsa Mataram,
Mataram Raya yang satu, besar dan jaya. Sementara, Pembayun adalah tokoh
romantis yang membawa cinta dan dendam hingga dibawa mati.
3. PENYEBAB ‘PEMBANGKANGAN’ KI AGENG MANGIR TERHADAP KERAJAAN MATARAM
Alkisah,
ketika terjadi pergantian kepemimpinan dari Pajang ke Mataram (1589 M)
bumi Mangir berada dalam suasana yang aman tentram dan damai, Ki Ageng
Mangir Wonoboyo II telah wafat dalam usia sepuh dan digantikan oleh
putranya Ki Ageng Mangir Wonoboyo III atau Ki Ageng Mangir IV. Ki Ageng
Mangir IV masih muda belum beristri dan sangat memperhatikan olah seni
dan budaya serta merasa bangga memiliki tombak pusaka Kiai Barukuping
atau sering disebut Kiai Baruklinting. Konon Sang Senopati Ing Ngalaga
Ing Mataram setelah dijunung menggantikan Sultan Pajang tidak mau
menempati Istana Pajang melainkan lebih senang menggunakan gelar
Panembahan, lengkapnya Panembahan Senopati Ing Ngalaga Ing Mataram.
Panembahan
adalah seorang pemimpin, guru dan panutan masyarakat. Ia membimbing
masyarakat dengan kebudayaan yang luhur penuh pengabdian, yaitu Memayu
Hayuning Buwana. Dikisahkan dalam memperhatikan wilayah kekuasannya di
Mataram, Sang Panembahan Senopati telah mendengar bahwa di Bumi Mangir
yang tidak jauh dari istana Mataram, Ki Ageng Mangir Wonobo tidak mau
tunduk kepada kekuasaan Mataram.
Alasan yang menjadi dasar “pembangkangan” :
- Alasan keyakinan keagamaan yaitu ia tidak mau menyembah sesama manusia atau makhluk ciptaan Tuhan, seperti katanya dalam tembang sebagai berikut : Pan Allah kang andarbeni bumi, aku suwita ing Allahutangala, ora ngawula senopati, jer pada titahing Pangeran (BukankaH Allah yang memiliki bumi, aku menghamba kepada Allah ta’ala bukan kepada Senopati, sebab sama-sama makhluk Tuhan)
- Ki Ageng Mangir ingin mempertahankan tanah warisan nenek moyangnya karena nenek moyangnya telah membuka tanah dengan susah payah tanpa bantuan orang lain .
- Ki Ageng Mangir merasa lebih dahulu berkuasa di Mangir, merasa berada di pihak yang benar dan merasa kuat menghadapi Senopati.
4. KISAH KI AGENG MANGIR
Alasan-alasan
“pembangkangan” Ki Ageng Mangir yang masih muda itu juga telah
diketahui oleh Panembahan Senopati dan para penasihatnya yaitu Ki Juru
Mertani dan lain-lain. Sang
Panembahan Senopati mencari cara terbaik untuk menundukkan Mangir.
Diluar pengalamannya yang pernah dilakukannya ketika menjadi prajurit
muda di Pajang, Sang Panembahan Senopati bersama ayahanda Ki Ageng
Pemanahan, Ki Penjawi dan Ki Juru Mertani pernah ‘menyelesaikan’
peristiwa pembangkangan yang dilakukan oleh Sang Harya Penangsang,
Adipati Jipang Panolan. “Tetapi tidak untuk Mangir”, begitu sang
Panembahan Senopati berkata dalam hatinya. Mangir akan diperlakukan
dengan cara tersendiri, yang lebih berbudaya dan manusiawi.
Alkisah
Putri Pembayun, putri kesayangan Panembahan Senopati telah bersedia
menjadi duta menyelesaikan dan menundukkan Ki Ageng Mangir Wonoboyo (Ki
Ageng Mangir IV). Para kerabat Mataram telah mengetahui bahwa Ki Ageng
Mangir Wonoboyo dan para kakeknya adalah kerabat Majapahit. Kisah
demikian telah beredar semenjak Ki Ageng Pemanahan dan Sunan Kalijogo
masih hidup. Kekerabatan itu menjadi putus karena jarak yang sangat jauh
dan dipisahkan oleh gunung dan hutan serta terputusnya kepentingan dan
keyakinan hidup masing-masing. Oleh karena itu, sikap yang menjadi salah
paham yaitu menjadi pembalela harus diselesaikan dengan damai. Konon
rombongan yang kesenian yang berangkat menuju Mangir terdiri dari para
Punggawa terkemuka Negeri Mataram. Adipati Martalaya sebagai Dalang
Sandiguna siap memimpin misi rahasia itu dibantu Ki Jayasupanta sebagai
penabuh Ki Sandisasmita dan Ki Suradipa sebagai penggendang tak perlu
berganti nama. Sedangkan Retna Pembayun yang menjadi waranggana
sekaligus anak Ki Dalang dikawal oleh seorang bupati wanita yang bernama
Nyai Adirasa. Dikisahkan bahwa rombongan itu membawa peralatan gamelan,
wayang dan para wiyaga (penabuh gamelan) yang cukup banyak. Dan
perjalanannya telah sampai di Kademangan Mangir.
Alkisah
di kademangan Mangir memang sedang merayakan Merti Dusun yaitu
menyambut pepanenan hasil pertanian yang diadakan setiap tahun, tidak
menyangka ada rombongan kesenian dari luar desa.Tentu saja Ki Ageng
dapat menerima kedatangan mereka dengan senang hati.
Tontonan
itupun segera digelar sehingga seluruh kademangan Mangir menjadi hingar
bingar. Ki Ageng Mangir Wonoboyo IV yang masih perjaka terpikat akan
kecantikan Sang Waranggana yang duduk dibelakang Ki Dalang Sandiguna.
Selesai
mendalang, mereka dijamu di dalam rumah Ki Ageng. Rumah itu memang sepi
karena memang KI Ageng belum berkeluarga. Belum ada wanita yang mampu
menundukkan hatinya. Tetapi ketika melihat Sang Waranggana yang konon
Putri Ki Dalang Sandiguna, hatinya berbicara lain dan sepertinya mulai
tumbuh benih-benih cinta. Ki Ageng Mangir terkena panah asmara dan ingin
melamar Sang Ayu untuk menjadi istrinya.
Konon
keduanya telah direstui untuk menjadi suami istri. Retno Pembayun
dengan sepenuh hati telah rela untuk menjadi Nyai Ageng Mangir Wonoboyo.
Dengan pernikahan itu sesungguhnya bumi Mangir dikatakan telah menjadi
bagian dari Istana Mataram.
Tetapi
kiranya tak semudah itu untuk menundukkan sebuah keyakinan. Ki Ageng
Mangir Wonoboyo tidak mengira bahwa istrinya itu adalah Sekar Kedaton
Kerajaan Mataram. Ia tidak pernah tunduk kepada Panembahan Senopati,
namun kenapa bisa menjadi menantu penguasa Mataram itu? Konon Ki Ageng
masih bertanya-tanya dengan penuh keraguan, namun toh pupus dengan
keyakinan bahwa semuanya itu telah menjadi suratan takdir Yang Maha
Kuasa.
Benih-benih
cinta tetap mekar dan bersemi di hari keduanya. Tetapi untuk
menghadapkan sembah kepada mertuanya di Mataram? Harga diri dan pesan
wanti-wanti kakek moyangnya selalu saja mengganggunya. Kemandirian Desa
Mangir harus diteruskan tanpa mengekor kepada kekuasaan lain. Tidak ada
ketundukan tanpa kesadaran dan keikhlasan. Konon Ki Ageng Mangir
benar-benar berada di simpang jalan.
Alkisah,
Nyai Ageng Mangir alias Retno Pembayun, yang ternyata seorang Putri
Kedaton tak habis-habisnya merayu sang suami untuk segera menghadap
ayahanda di Mataram. Ki Ageng berpikir sungguh-sungguh untuk mengambil
sikap yang terbaik. Apakah maksud sesungguhnya dari seorang Putri
Panembahan Senopati sehingga mau menjadi Nyai Ageng Mangir? Sehingga
benih cinta darinya sudah bersemi di dalam kandungan Sang Putri yang
konon semestinya masih bermanja-manja di Istana Keputren? Demikianlah,
suratan takdir sudah terjadi. Ki Ageng Mangir Wonoboyo muda harus
bertanggungjawab menghadapi kenyataan yang terjadi. Ia telah siap
menghadapi kenyataan yang terjadi. Ia telah siap untuk menghadapi
mertuanya Sang Panembahan Senopati di Mataram.
Tetapi
kewibawaan Mangir tak boleh sirna. Para pemuda Mangir harus ikut serta
dan tombak pusaka Kiai Barukuping harus dibawa. Ia pun akan menghadap
Panembahan Senopati sebagai seorang Ksatria yang memiliki harga diri dan
martabat yang sama. Bukankah di Bumi Mangir sudah tidak ada lagi
sembah-menyembah dan kasta-kasta?
Selanjutnya
Ki Ageng Mangir menuruti permintaan istrinya untuk segera pergi ke
istana. Konon para kerabat Kraton Mataram telah mempersiapkan upacara
penyambutan yang lazimnya disebut “ngunduh mantu” dengan tatacara yang
meriah. Perjalanan Ki Ageng dan Nyai Ageng Mangir menuju Mataram diikuti
para kerabat Mangir yang cukup banyak. Dari Mangir perjalanan menuju ke
timur dan utara sampai di kraton Mataram (Sekarang Kotagedhe)
disaksikan orang banyak di sepanjang jalan. Ternyata, sampai di Kraton
Mataram semuanya telah diatur, yaitu para pengiring dihentikan dan
dijamu makan-makanan di bangsal Pecaosan. Selanjutnya hanya kedua
mempelai yang boleh masuk ke istana. Pada saat itulah di Bangsal
Pasewakan diberitakan terjadi musibah di tangan Panembahan Senopati
mertuanya sendiri. Ia dibunuh oleh Senopati dengan cara dibenturkan
kepala Ki Ageng Mangir ke lantai. Sehingga, makam Ki Ageng Mangir yang
berada di Kotagede memiliki sebuah petilasan berupa batu yang “legok”
yang dipercaya sebagai bekas kepala Ki Ageng Mangir yang dibenturkan.
5. LETAK MAKAM KI AGENG MANGIR
Kisah
kehidupan dan kematian Ki Ageng Mangir dapat terekam melalui beberapa
situs makam dan dari sejarah lisan yang diceritakan oleh masyarakat
Yogyakarta. Situs makam tersebut menjadi kontroversi banyak orang.
Sebab, terdapat dua makam Ki Ageng Mangir yang terletak di wilayah yang
berbeda.
Makam
Mangir di Kotagede dibuat sedemikian rupa sehingga separo nisannya
berada di dalam tembok makam dan separonya lagi berada di luar tembok
makam. Hal ini dimaksudkan bahwa separo tubuh Mangir adalah menantu
Senapati atau anggota dinasti Mataram, akan tetapi separonya lagi adalah
musuh Mataram. Namun, beberapa masyarakat menyangsikan kebenaran makam
tersebut. Pemakaman di makam Kotagede itu hanyalah pemakaman politis.
Sehingga, peristiwa atas pembunuhan putra menantu sendiri oleh Raja
Mataram itu kelihatan sah.
Versi
lain lagi menyatakan bahwa makam Mangir berada di Dusun Sebaran,
Godean, Sleman. Kebanyakan trah Mangir lebih meyakini bahwa makam Mangir
adalah yang terletak di Sebaran ini. Kemungkinan keyakinan ini
didasarkan pada suatu versi yang menyatakan bahwa setelah Mangir
berhasil dibunuh jasadnya dikeluarkan dari Kraton Mataram Kotagede
melalui pintu belakang dengan dinaikkan pada gerobak/pedati. Orang yang
ditugaskan untuk membawa jasad Mangir ini adalah Demang Saralati. Demang
Saralati ini diyakini menjadi cikal bakal Dusun Saralaten yang
keletakan wilayahnya berada di sisi timur Dusun Sebaran. Disebelah makam
ada batu nisan panjang sebagai makam kuda tunggangan Mangir yang
mencari tuannya.
6. PENEMUAN MAKAM
Diceritakan
oleh Sugeng (berdasar cerita dari bapaknya) bahwa makam yang dipercaya
sebagai makam Mangir tersebut ditemukan tahun 1971. Penemunya adalah R.
Warno Pramujo, warga Gamelan Lor Yogyakarta. Pada saat ditemukan, makam
itu hanya berupa gundukan tanah dengan tumpukan batu yang di
sekelilingnya tumbuh ilalang yang tinggi dan ditutupi rimbunnya daun
pohon bambu.
Tapi
tidak diketahui juga secara pasti bagaimana cara membuktikan bahwa itu
makam Ki Ageng Mangir. “Memang disekitar makam Mangir itu juga ada
beberapa makam tua dengan nisan kuno, tapi warga disini juga tidak ada
yang tahu itu makam siapa?”, lanjut Sugeng.
Sedang ikhwal penemuan makam itu, Budi Sugeng sendiri juga tidak tahu secara pasti. “Waktu itu saya masih kecil. Saya tahunya juga dari bapak”, terang karyawan swasta ini. Dikisahkan bahwa R. Warno adalah seorang yang gemar laku batin. Ritualnya ditempuh dengan jalan kaki ke makam-makam keramat. Pada waktu beliau sedang tirakat di sebuah makam tua yang dikatakan masih trah Majapahit, beliau mendapat bisikan. Intinya agar mencari makam Ki Ageng Mangir. Tidak dikatakan dimana tempatnya, hanya diberi petunjuk tentang arah makam tersebut.
Sedang ikhwal penemuan makam itu, Budi Sugeng sendiri juga tidak tahu secara pasti. “Waktu itu saya masih kecil. Saya tahunya juga dari bapak”, terang karyawan swasta ini. Dikisahkan bahwa R. Warno adalah seorang yang gemar laku batin. Ritualnya ditempuh dengan jalan kaki ke makam-makam keramat. Pada waktu beliau sedang tirakat di sebuah makam tua yang dikatakan masih trah Majapahit, beliau mendapat bisikan. Intinya agar mencari makam Ki Ageng Mangir. Tidak dikatakan dimana tempatnya, hanya diberi petunjuk tentang arah makam tersebut.
Setelah
makam itu ditemukan, selanjutnya oleh R. Warno Pramujo makam itu
dibangun. Makam yang dahulunya penuh ilalang, sejak 17 Maret 1972 (1
Sapar 1904) menjadi makam yang cukup apik. Sedang makam yang ada
disekitarnya tetap dibiarkan apa adanya hingga sekarang.
Bangunan makam terdiri dari 2 ruang. Ruang utama terdapat makam Mangir, sedang samping timurnya yang hanya terhalang tembok adalah makam R. Warno Pramujo (penemu sekaligus sesepuh makam yang pertama) yang meninggal tahun 1983.
Bangunan makam terdiri dari 2 ruang. Ruang utama terdapat makam Mangir, sedang samping timurnya yang hanya terhalang tembok adalah makam R. Warno Pramujo (penemu sekaligus sesepuh makam yang pertama) yang meninggal tahun 1983.
BACA JUGA TENTANG JEJAK SEJARAH DI DUSUN MANGIR
Artikel yang menarik, jangan lupa kunjungi juga blog aku dengan thema yang sama http://pembayun-mangir.blogspot.com/
BalasHapusoke siiiiiip :D
BalasHapus