Rabu, 24 Oktober 2012

JEJAK SEJARAH DI DUSUN MANGIR


Ki Ageng Mangir meninggalkan sejarah melebihi mitos Kyai Baruklinting. Asmara Putri Pembayun, tragedi dan batu nisan kematiannya yang penuh misteri dan kontroversial.

(Ki Ageng Mangir, Cikal Bakal Desa Tertua di Bantul, 2010)


Mengawali tulisan ini menjadi perlu ketika mencoba untuk menapak tilas sejarah Ki Ageng Mangir. Hal ini karena tidak hanya cerita sejarah yang masih melekat sebagai sebuah story atau jejak seorang Ki Ageng Mangit itu sendiri, namun keberadaannya telah memberikan pengaruh bagi kehidupan masyarakat Mangir hingga sampai saat ini. 
(HEJ, 2011)

Dusun Mangir lekat dengan Siwaisme, sebuah tradisi pemujaan Dewa Siwa. Inilah kluster budaya peninggalan Majapahit yang masih terasa denyutnya hingga kini.
Sepintas, Dusun Mangir tak beda dengan pedusunan lain di Bantul, Yogyakarta. Kala siang suasana terasa teduh oleh rimbunnya pepohonan sesekali terdengar suara teriakan orangorang yang bekerja di sawah. Tak ada hiruk-pikuk suara kendaraan, orang pun terlihat santai di alam agraris.
Namun, desa ini jauh lebih kondang ketimbang desadesa lain di sekitarnya. Orang banyak yakin di sanalah dulu pernah berkuasa seorang tokoh legendaris Ki Ageng Mangir Wanabaya.
Pada zamannya, tokoh itu adalah penguasa lokal keturunan Majapahit, yang pernah menjadi rival politik Kerajaan Mataram Islam pada era Panembahan Senopati (1590-1610 M). Kisah hidup hingga kematiannya hingga kini menyisakan kontroversi "abadi", yang lebih banyak dibalut aroma legenda dan cerita lisan dari fakta sejarahnya.
Legenda itu kini ikut mendongkrak popularitas dusun yang terletak 30 kilometer sebelah Barat Daya pusat Kota Yogyakarta ini. Pemerintah Kabupaten Bantul memperkuat dusun itu sebagai daerah wisata ritual.Konon, Dusun Mangir, Desa Sendangsari, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul, adalah pedusunan tertua Yogyakarta dan Jawa Tengah. Di sanalah orang mencatat perkembangan Siwaisme. Kita masih bisa menemukan bukti arkeologis berupa temuan lingga dan yoni terbuat dari batu andesit yang merupakan simbol Siwaisme.


Napak Tilas Sejarah Ki Ageng Mangir
Cerita tentang Mangir tidak lepas dari keberadaan sebuah kerajaan yang bernama Mataram yang mengukir sejarah di Pulau Jawa. Sejarah Mangir tidak hanya berlangsung dalam satu abad kehidupan Ki Ageng Mangir Wonoboyo namun sudah sejak Ki Ageng Mangir I yang bernama Raden Megatsari (Putra Prabu Brawijaya V) yang hidup satu jaman dengan Raden Patah pendiri Kerajaan Islam Demak. Sebagai pemimpin desa, guru dan panutan rakyatnya ia menggunakan gelar Ki Ageng seperti pemuka desa lainnya di tanah Jawa pada abad 14 M dan 15 M.
Kebangkitan ki Ageng merupakan fenomena budaya yang mengikuti tuntunan para Walisongo . Komunitas penduduk desa di bawah Ki Ageng membangun kemerdekaan rakyat dari kungkungan yang menempatkan orang jawa sebagai manusia mitologi kasta sudra yang tidak sama dengan para raja dan bangsawan yang konon keturunan para dewa. Para walisongo dengan agama Islam membebaskan rakyat dari kungkungan ketidakadilan tersebut dengan kemerdekaan, persamaan hak dan kemandirian hidup di desa. Semua umat manusia adalah sama di hadapan Tuha Yang Maha Kuasa, yang membedakan adalah taqwanya. 
Seperti itu pula rakyat Mangir di bawah Ki Ageng Mangir I (Raden Megatsari) dan seterusnya dibawah Ki Ageng Mangir II (wonoboyo I), Ki Ageng Mangir III (Wonoboyo II) dan KI Ageng IV (Wonoboyo III) selama hampir 150 tahun hidup dalam kebersamaan, kemandirian dan guyub rukun. Lebih dari itu bumu mangir tidak pernah mengalami campur tangan kekuasaan Majapahit, Demak maupun Pajang. 

(Penggalan sinopsis buku Ki Ageng Mangir, Cikal Bakal Desa Tertua di Bantul, 2010)

Adapun "drama" tragedi yang menimpa Mangir dan Mataram melalui sosok Putri Pembayun putra Mataram yang dikirimkan Mataram untuk memikat hari Mangir dan kemudian membawanya untuk bertemu dengan sosok Mataram merupakan cerita yang banyak dikonstruksi oleh berbagai pihak. Keberadaan Mangir yang dikatakan tewas di tangan Mataram sebab Mangir tidak mau menyerahkan wilayahnya kepada Mataram atau sebuah kisah yang menyatakan bahwa Mangir tunduk pada keberadaan seorang Pembayun sehingga mau menyerahkan kekuasaannya atas Mangir kepada Mataram. Itu semua merupakan sebuah sejarah yang menimbulkan beberapa kontroversi. Sehingga keberadaannya kemudian seolah-olah ditutup. Wilayah pardikan yakni bumi Mangir itu sendiri padahal masih jelas nyata. Ada di sebuah wilayah dusun di Bantul, Yogyakarta yakni di sebuah pelosok Dusun Mangir, Sendangsari, Pajangan. Bukti-bukti peninggalan pun masih banyak. Hal ini cukup menjadi bukti bahwa sejarah Mangir adalah bagian dari sejarah bangsa Indonesia.


Mangir merupakan wilayah yang terletak di Desa Sendangsari, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Wilayah ini secara administratif terdiri dari 3 dusun yakni Dusun Mangir Lor, Dusun Mangir Tengah, dan Dusun Mangir Kidul. Mangir memiliki wilayah seluas kurang lebih 100 Ha. Wilayah Mangir berbatasan langsung dengan Sungai Progo yang membatasi dengan Kabupaten Kulon Progo. Batas wilayah Mangir itu sendiri adalah :
a. Utara : berbatasan dengan Dusun Jaten
b. Timur : berbatasan dengan Sungai Bedog yang membatasi pula dengan Dusun Ngentak Mangir (Kecamatan Pandak)
c. Selatan : berbatasan dengan tempuran (pertemuan) Sungai Bedog dan Sungai Progo sekaligus sebelah selatannya adalah Dusun Siyangan (Kecamatan Pandak)
d. Barat : berbatasan dengan Sungai Progo yang merupakan batas dengan Kabupaten Kulon Progo. 
Wilayah Mangir berupa dataran rendah dan berada pada kawasan perdesaan di dalamnya masih terdapat banyak sumber daya alam seperti hasil sawah, kebun serta hasil alam dari sungai seperti ikan. Pohon-pohon besar seperti pohon kelapa, sengon, durian dan sebagainya masih banyak terdapat di kawasan ini. Sehingga keberadaannya pun banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Mangir. Pada dasarnya wilayah ini masih terdapat banyak lahan kosong yang merupakan pekarangan milik warga dan disimpan sebagai suatu kekayaan warga masyarakat. 
Kawasan yang cukup sejuk ini juga memiliki sebuah situs sejarah yang konon merupakan peninggalan cerita Ki Ageng Mangir Wonoboyo. Ada beberapa jejak peninggalan berupa Lingga Yoni, batu, kuburan, patung kebo, serta batu-bata bekas kerajaan yang dipercaya oleh masyarakat masih memiliki kekuatan magis.


Total penduduk dari Mangir Lor hingga Mangir Kidul kurang lebih berjumlah 1648 jiwa. Masyarakat Mangir memiliki mata pencaharian yang beraneka ragam. Hal ini tentunya dipengaruhi oleh faktor pendidikan, pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan. 

Sebagian besar masyarakat bermata pencaharian sebagai buruh tidak tetap dan tani. Namun ada pula yang bermata pencaharian di bidang lain seperti pedagang, swasta, PNS, TNI/POLRI, peternak, wiraswasta, dan usaha tradisional seperti penyadap pohon kelapa (nderes) sekaligus pembuat gula jawa. Mayoritas penduduk Mangir beragama Islam tetapi ada pula yang beragam Kristen sebanyak kurang lebih 14 orang.
Meskipun mayoritas masyarakat beragama Islam namun masyarakat tetap memiliki toleransi yang tinggi terhadap pemeluk agama yang lain. Terdapat sarana ibadah yang ada di Mangir yakni 1 buah masjid untuk 3 pedusunan dan beberapa mushola.

Dalam bidang pendidikan wilayah Mangir memiliki fasilitas pendukung seperti 1 buah gedung TK dan 1 buah gedung SD. Pengelolaan dewan sekolah diserahkan kepada 3 pedusunan yakni Mangir Lor, Mangir Tengah dan Mangir Kidul. Sedangkan untuk data tingkat pendidikan sangat beragam dari yang tidak berpendidikan, putus sekolah, SD, SMP, SMA dan perguruan tinggi. 
Kondisi ekonomi masyarakat mangir dapat dikatakan masih berada dalam kondisi masyarakat yang menengah ke bawah. Hal ini dapat dibuktikan dengan masih banyaknya jumlah warga miskin di wilayah ini serta mata pencaharian penduduk masih banyak yang tidak tetap atau serabutan.

 Jumlah keluarga miskin di Dusun Mangir Lor sebanyak 32 keluarga, Mangir Tengah sebanyak 52 keluarga, Mangir Kidul sebanyak 33 keluarga. 
Masyarakat Mangir masih erat dengan sifat tradisionalnya. 


Hal ini terbukti dengan masih dipercayanya beberapa kegiatan atau ritual-ritual tradisional yang mungkin di daerah lain sudah ditinggalkan. 
Contoh kegiatan tersebut misalnya tradisi suran (suro), obong-obong atau sesajen pada tempat-tempat atau benda tertentu yang dianggap keramat, serta kepercayaan pada mitos dan sebagainya. Hal itu terutama untuk kaum tua yang masih ada di Mangir itu sendiri. Melekatnya masyarakat pada sistem ini karena didasari pula oleh kepercayaan yang turun-temurun nenek moyang. 

Sifat tradisional yang masih melekat pada masyarakat Mangir tidak kemudian secara menyeluruh bertahan sampai saat ini. Masyarakat yang masih meneguhkan etos gotong royong atau sambatan juga mengalami perubahan sosial dan budaya di dalamnya. Hal ini terbukti dengan kondisi masyarakat yang sudah tidak gagap lagi dengan teknologi, pendidikan serta munculnya beberapa organisasi masyarakat. Hal ini membuktikan bahwa pemikiran masyarakat pun sudah mengalami perkembangan. 

Selain itu masih banyak kegiatan hajatan yang dilakukan oleh masyarakat dan dianggap tabu untuk ditinggalkan meskipun kebanyakan masyarakat lain sudah meninggalkan. Dapat dicontohkan untuk hajatan orang meninggal dari tujuh hari, 100 hari, 2 tahun (peling), dan 1000 hari. Tradisi hajatan pernikahan, kelahiran anak, membangun rumah, membuat sumur, membakar batu-bata (obong boto), dan masih banyak lagi kegiatan lain. 

Mangir berbudaya, menjadi satu hal yang tidak dilepaskan dari karakter masyarakat Mangir. Dengan potensi panorama alam perdesaan yang menawan, orang-orang yang tinggal di kawasan ini memiliki potensi keterampilan budaya yang cukup besar. Kelompok reog, kelompok musik gamelan anak, kelompok musik campursari Banyu Bening Mangir Wonoboyo dan lain sebagainya merupakan aset-aset kesenian tradisional yang masih dilestarikan pada masyarakat ini.
KUNJUNGI JUGA sejarah tentang KI AGENG MANGIR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar