Pada paruh akhir abad ke-18, Keraton Kasultanan Yogyakarta memiliki pasukan bersenjata yang cukup disegani kekuatannya. Pasukan ini terdiri dari pasukan infanteri dan kavaleri yang sudah dilengkapi dengan senapan api dan meriam, disamping berbagai senjata tradisional seperti pedang, tombak dan panah.
Adanya pasukan ini tidak terlepas dari keberadaan para prajurit dan laskar-laskar rakyat yang menjadi pendukung setia Pangeran Mangkubumi yang di kemudian hari bertahta sebagai Sultan Hamengku Buwono I. Menjelang berdirinya Kasultanan Yogyakarta, kekuatan bersenjata dibawah pimpinan Pangeran Mangkubumi, diakui kekuatannya saat menghadapi berbagai pemberontakan di Kasunanan Surakarta. Pasukan ini juga gigih melakukan perlawanan terhadap tentara Kompeni Belanda.Dalam sebuah pertempuran di nJenar di wilayah Bagelen misalnya. Komandan pasukan Belanda bernama Mayor Klerck berhadapan langsung dengan abdidalem Mantrijero bernama Wiradigda. Tombak Wiradigda berhasil menusuk bahu Sang Komandan, hingga pedang marsose yang dibawanya terjatuh.
Mayor Klerck kemudian mengambil pistol dan mengarahkannya ke Wiradigda. Namun pada saat yang tepat, prajurit bernama Prawirarana berhasil menusukkan tombak ke leher sang musuh hingga tewas seketika. Peristiwa ini terjadi pada bulan Desember 1751 dan memicu trauma yang mendalam di pihak Kompeni Belanda.
Tombak itu, saat ini diabadikan sebagai salah satu pusaka Keraton Kasultanan Yogyakarta, dengan nama Kanjeng Kyai Klerek. Pasca peristiwa Palihan Nagari yang ditandai dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti pada bulan Pebruari 1755 yang memecah Kerajaan Mataram menjadi 2 bagian, Surakarta dan Yogyakarta, para prajurit dan laskar rakyat pendukung setia Pangeran Mangkubumi ini, menjadi salah satu pilar penting berdirinya Keraton Kasultanan Yogyakarta.
Pada masa Sultan Hamengku Buwono II, kekuatan bersenjata Keraton kembali membuktikan kekuatannya pada saat menghadapi serbuan Balatentara Kompeni Inggris yang terdiri dari orang-orang Sepoy dari India, dibawah pimpinan Kolonel Gillespie. Perisitiwa ini terjadi pada tahun 1812 dan dikenal sebagai peristiwa Geger Sepoy atau Geger Spei, yang berujung dengan jatuhnya Keraton ke tangan Kompeni Inggris disertai penangkapan dan pembuangan Sri Sultan Hamengku Buwono II ke Pulau Penang.
Setelah peristiwa pendudukan Keraton oleh Balatentara Kompeni Inggris, dan sejak ditandatanganinya perjanjian politik antara Thomas Stamford Raffles dan Sultan Hamengku Buwono III pada bulan Oktober 1813, kekuatan bersenjata Keraton menyurut drastis. Dibawah pengawasan Pemerintahan Kompeni Inggris, Kasultanan Yogyakarta tidak lagi dibenarkan memiliki angkatan bersenjata yang kuat. Personil dan sistem persenjataan dibatasi sedemikian rupa, sehingga Keraton tidak mungkin lagi untuk melakukan gerakan militer. Sejak itulah fungsi kekuatan bersenjata Keraton, tidak lebih dari pengawal Sultan dan penjaga lingkungan Keraton.
Pasca tahun 1830, Setelah berakhirnya Perang Diponegoro, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda semakin mengurangi dan membatasi kekuatan militer Keraton. Meski memiliki hampir 1000 personel dengan berbagai jenis senjata, termasuk senjata api, namun keberadaannya sungguh tidak lebih hanya sebagai atribut pelengkap dalam kehidupan tradisi dan adat isitadat Keraton.
Hingga pada tahun 1942, keberadaan kesatuan bersenjata yang berusia hampir 2 abad itu, mencapai akhir riwayatnya. Saat itu, pada masa-masa awal pendudukan Balatentara Jepang, Sultan Hamengku Buwono IX membubarkan semua kesatuan bersenjata di Keraton Yogyakarta, untuk menghindari keterlibatan para prajuritnya dalam Perang Asia Timur Raya.
Baru pada awal tahun 70-an, Sultan Hamengku Buwono IX menghidupkan kembali keberadaan pasukan tradisional ini untuk melengkapi berbagai upacara adat dan atraksi pariwisata di Keraton Yogyakarta, khususnya dalam upacara Garebeg yang diadakan 3 kali setiap tahunnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar