Lokasi-Perjanjian Giyanti
Perjanjian Giyanti, melatar belakangi pecahnya dinasti Mataram. Berawal dari Pangeran Mangkubumi yang menuntut janji Pakubuwono III, bahwa ia akan menyerahkan 3000 cacah tanah di Sukowati apabila berhasil meredam pemberontakan Pangeran Sambernyawa. Akhirnya Mataram harus dipecah menjadi Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogjakarta Hadiningrat melalui perjanjian Giyanti. Peristiwa itu merupakan sejarah kelam Mataram.Bertempat di Dusun Kerten, Kelurahan Jati Harjo, Karanganyar, Jawa Tengah. Sebuah petilasan yang dulu menjadi tempat terselenggaranya perjanjian Giyanti.
Tempat perundingan yang melahirkan perjanjian Giyanti, sampai sekarang masih terjaga keberadaannya. Hanya saja, kondisinya sekarang tidak selayaknya tempat yang menjadi saksi sejarah kelam Mataram. “Kalau melihat kondisi sekarang, tempat tersebut seperti sebuah punden,” kata Hadi Siswanto, warga Dusun Kerten. Tempat tersebut masih milik Sukowati. Untuk menjaga dan melestarikan tempat bersejarah tersebut, masyarakat Dusun Kerten bergotong-royong membangun secara swadaya.
Tanpa ada campur tangan atau bantuan dari pihak Sukowati maupun dari Pemerintah Daerah. Kepedulian dari warga setempatlah yang menjadikan tempat ini sedikitnya masih dikenal oleh masyarakat luas, dan dari tangan Mbah Warsi pula yang menjadikan tempat ini terjaga kebersihannya.
Di sini terlihat ketidak pedulian dari Sukowati maupun pihak pemerintah terkait, terhadap peninggalan sejarah dari perjanjian Giyanti. Tempat tersebut mestinya menjadi tanggung jawab bersama. Bagaimana kita bisa mengenalkan sejarah ke generasi berikutnya kalau kita sendiri tidak peduli dengan sejarah itu sendiri. Kalau hanya mengandalkan swadaya masyarakat setempat tanpa kepedulian dari pihak-pihak terkait, lambat laun nilai-nilai sejarah dan budaya akan hilang dari Bumi Pertiwi ini.
Tempat tersebut juga melambangkan keberhasilan dari Pangeran Mangkubumi dalam menumpas penjajah V.O.C Hindia Belanda kala itu. Tanpa adanya prasasti, hanya gapura yang berdiri serta bendera yang sudah lusuh menghiasi tempat tersebut. Menurut cerita warga sekitar, tempat tersebut diakui oleh pihak Sukowati. Pada tahun 1978, pihak Sukowati pernah menjanjikan akan membangun tempat tersebut agar dikenal oleh masyarakat luas. Tetapi pada kenyataannya sampai sekarang janji tersebut belum terlaksana juga.
Warga Dusun Kerten meyakini di tempat itulah berlangsungnya perundingan yang melahirkan perjanjian Giyanti. Sehingga, mereka bertekat menjaga keberadaannya sebagai warisan leluhur untuk dilestarikan secara turun-temurun. Walaupun, sejarah itu merupakan awal pecahnya dinasti mataram karena campur tangan V.O.C.
Isi Perjanjian Giyanti
Naskah Perjanjian Giyanti
Perjanjian Giyanti adalah kesepakatan antara VOC, pihak Mataram (diwakili oleh Sunan Pakubuwana III), dan pihak pemberontak dari kelompok Pangeran Mangkubumi yang menjadi solusi bagi salah satu kerusuhan yang terus terjadi di Mataram sepeninggal Sultan Agung. Perjanjian yang ditandatangani pada bulan 13 Februari 1755 ini secara de facto dan de jure menandai berakhirnya Kerajaan Mataram yang sepenuhnya independen. Nama Giyanti diambil dari lokasi penandatanganan perjanjian ini, yaitu di Desa Giyanti (ejaan Belanda, sekarang tempat itu berlokasi di Dukuh Kerten, Desa Jantiharjo), di tenggara kota Karanganyar, Jawa Tengah.
Lokasi penandatanganan Perjanjian Giyanti
Lokasi penandatanganan Perjanjian Giyanti
Lokasi Penandatangan Perjanjian Giyanti
Berdasarkan perjanjian ini, wilayah Mataram dibagi dua: wilayah di sebelah timur Kali Opak (melintasi daerah Prambanan sekarang) dikuasai oleh pewaris tahta Mataram (yaitu Sunan Pakubuwana III) dan tetap berkedudukan di Surakarta, sementara wilayah di sebelah barat (daerah Mataram yang asli) diserahkan kepada Pangeran Mangkubumi sekaligus ia diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwana I yang berkedudukan di Yogyakarta. Di dalamnya juga terdapat klausul, bahwa pihak VOC dapat menentukan siapa yang menguasai kedua wilayah itu jika diperlukan.
Perundingan pembagian Kerajaan Mataram
Peta Mataram setelah perjanjian Giyanti
Peta pembagian Mataram setelah Perjanjian Giyanti dan didirikannya Mangkunagaran pada tahun 1757
Menurut dokumen register harian N. Hartingh (Gubernur VOC untuk Jawa Utara), pada tanggal 10 September 1754 N. Hartingh berangkat dari Semarang untuk menemui Pangeran Mangkubumi. Pertemuan dengan Pangeran Mangkubumi sendiri baru pada 22 September 1754. Pada hari berikutnya diadakan perundingan yang tertutup dan hanya dihadiri oleh sedikit orang. Pangeran Mangkubumi didampingi oleh Pangeran Notokusumo dan Tumenggung Ronggo. Hartingh didampingi Breton, Kapten Donkel, dan sekretaris Fockens. Sedangkan yang menjadi juru bahasa adalah Pendeta Bastani.
Pembicaraan pertama mengenai pembagian Mataram. N. Hartingh menyatakan keberatan karena tidak mungkin ada dua buah matahari. Mangkubumi menyatakan di Cirebon ada lebih dari satu Sultan. Hartingh menawarkan Mataram sebelah timur. Usul ini ditolak sang Pangeran. Perundingan berjalan kurang lancar karena masih ada kecurigaan diantara mereka. Akhirnya setelah bersumpah untuk tidak saling melanggar janji maka pembicaraan menjadi lancar. Kembali Gubernur VOC mengusulkan agar Mangkubumi jangan menggunakan gelar Sunan, dan menentukan daerah mana saja yang akan dikuasai oleh beliau. Mangkubumi berkeberatan melepas gelar Sunan karena sejak 5 tahun lalu diakui rakyat sebagai Sunan. (Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sunan [Yang Dipertuan] atas kerajaan Mataram ketika Paku Buwono II wafat di daerah Kabanaran, bersamaan VOC melantik Adipati Anom menjadi Paku Buwono III).
Menurut dokumen register harian N. Hartingh (Gubernur VOC untuk Jawa Utara), pada tanggal 10 September 1754 N. Hartingh berangkat dari Semarang untuk menemui Pangeran Mangkubumi. Pertemuan dengan Pangeran Mangkubumi sendiri baru pada 22 September 1754. Pada hari berikutnya diadakan perundingan yang tertutup dan hanya dihadiri oleh sedikit orang. Pangeran Mangkubumi didampingi oleh Pangeran Notokusumo dan Tumenggung Ronggo. Hartingh didampingi Breton, Kapten Donkel, dan sekretaris Fockens. Sedangkan yang menjadi juru bahasa adalah Pendeta Bastani.
Pembicaraan pertama mengenai pembagian Mataram. N. Hartingh menyatakan keberatan karena tidak mungkin ada dua buah matahari. Mangkubumi menyatakan di Cirebon ada lebih dari satu Sultan. Hartingh menawarkan Mataram sebelah timur. Usul ini ditolak sang Pangeran. Perundingan berjalan kurang lancar karena masih ada kecurigaan diantara mereka. Akhirnya setelah bersumpah untuk tidak saling melanggar janji maka pembicaraan menjadi lancar. Kembali Gubernur VOC mengusulkan agar Mangkubumi jangan menggunakan gelar Sunan, dan menentukan daerah mana saja yang akan dikuasai oleh beliau. Mangkubumi berkeberatan melepas gelar Sunan karena sejak 5 tahun lalu diakui rakyat sebagai Sunan. (Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sunan [Yang Dipertuan] atas kerajaan Mataram ketika Paku Buwono II wafat di daerah Kabanaran, bersamaan VOC melantik Adipati Anom menjadi Paku Buwono III).
Perundingan terpaksa dihentikan dan diteruskan keesokan harinya. Pada 23 September 1754 akhirnya tercapai nota kesepahaman bahwa Pangeran Mangkubumi akan memakai gelar Sultan dan mendapatkan setengah Kerajaan. Daerah Pantai Utara Jawa (orang Jawa sering menyebutnya dengan daerah pesisiran) yang telah diserahkan pada VOC (orang Jawa sering menyebut dengan Kumpeni) tetap dikuasai VOC dan ganti rugi atas penguasaan Pantura Jawa oleh VOC akan diberikan setengah bagiannya pada Mangkubumi. Terakhir, Pangeran memperoleh setengah dari pusaka-pusaka istana. Nota kesepahaman tersebut kemudian disampaikan pada Paku Buwono III. Pada 4 November tahun yang sama, Paku Buwono III menyampaikan surat pada Gubernur Jenderal VOC Mossel atas persetujuan beliau tehadap hasil perundingan Gubernur Jawa Utara dan Mangkubumi.
Berdasarkan perundingan 22-23 September 1754 dan surat persetujuan Paku Buwono III maka pada 13 Februari1755 ditandatangani 'Perjanjian di Giyanti yang kurang lebih poin-poinnya, seperti dikemukakan Soedarisman Poerwokoesoemo, sebagai berikut:
Pasal 1
Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Kalifattullah di atas separo dari Kerajaan Mataram, yang diberikan kepada beliau dengan hak turun temurun pada warisnya, dalam hal ini Pangeran Adipati Anom Bendoro Raden Mas Sundoro.
Pasal 2
Akan senantiasa diusahakan adanya kerjasama antara rakyat yang berada dibawah kekuasaan Kumpeni dengan rakyat Kasultanan.
Pasal 3
Sebelum Pepatih Dalem (Rijks-Bestuurder) dan para Bupati mulai melaksanakan tugasnya masing-masing, mereka harus melakukan sumpah setia pada Kumpeni di tangan Gubernur.
Pasal 4
Sri Sultan tidak akan mengangkat/memberhentikan Pepatih Dalem dan Bupati, sebelum mendapatkan persetujuan dari Kumpeni.
Pasal 5
Sri Sultan akan mengampuni Bupati yang selama dalam peperangan memihak Kumpeni.
Pasal 6
Sri Sultan tidak akan menuntut haknya atas pulau Madura dan daerah-daerah pesisiran, yang telah diserahkan oleh Sri Sunan Paku Buwono II kepada Kumpeni dalam Contract-nya pada tanggal 18 Mei 1746. Sebaliknya Kumpeni akan memberi ganti rugi kepada Sri Sultan 10.000 real tiap tahunnya.
Pasal 7
Sri Sultan akan memberi bantuan pada Sri Sunan Paku Buwono III sewaktu-waktu diperlukan.
Pasal 8
Sri Sultan berjanji akan menjual kepada Kumpeni bahan-bahan makanan dengan harga tertentu.
Pasal 9
Sultan berjanji akan mentaati segala macam perjanjian yang pernah diadakan antara raja-raja Mataram terdahulu dengan Kumpeni, khususnya perjanjian-perjanjian 1705, 1733, 1743, 1746, 1749.
Penutup
Perjanjian ini dari pihak VOC ditanda tangani oleh N. Hartingh, W. van Ossenberch, J.J. Steenmulder, C. Donkel, dan W. Fockens. "
Perlu ditambahkan Pepatih Dalem (Rijks-Bestuurder/Chief of Administration Officer) dengan persetujuan residen/gubernur adalah pemegang kekuasaan eksekutif sehari hari yang sebenarnya (bukan di tangan Sultan).
Badai belum berlalu
Perlu ditambahkan Pepatih Dalem (Rijks-Bestuurder/Chief of Administration Officer) dengan persetujuan residen/gubernur adalah pemegang kekuasaan eksekutif sehari hari yang sebenarnya (bukan di tangan Sultan).
Badai belum berlalu
Perjanjian Giyanti belum mengakhiri kerusuhan karena kelompok Pangeran Sambernyawa (Raden Mas Said) masih terus melakukan perlawanan terhadap Pakubuwana III. Perlawanan ini berakhir dua tahun kemudian melalui Perjanjian Salatiga. Latar belakang perjanjian ini pada waktu selanjutnya diabadikan dalam bentuk babad yang dinamakan Babad Giyanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar